Sabtu, 01 Desember 2012

SISTEM PENDIDIKAN DI TIMOR LESTE


A. Situasi Pendidikan di Timor Leste 

A.1 Situasi Pendidikan Sebelum Kemerdekaan 
Penjajahan Portugis tidak berusaha keras untuk mendidik penduduk Timor Leste. Sampai akhirnya 450 tahun kolonisasinya, pendidikan hanya didirikan untuk memenuhi pembutuhan untuk penjabat administrasi (Jones 2003: 41). Angka kemelekan huruf didugakan hanya sepuluh percen pada akhirnya kekuasaan Portugis (Saldanha 1994:60). 

Kesediaan pendidikan dasar penduduk Timor Leste merupakan sumber kebanggaan terbesar Indonesia karena banyak usaha dihabiskan di bidang itu. Jumlah sekolah di Timor Leste meningkat sehingga pada tahun 1985, ada sekolah dasar di setiap desa. Sensus Penduduk dari 1995 menyatakan perbaikan yang cepat terjadi dalam hal melek huruf, pendaftaran sekolah dan hasil yang dicapai karena ada 33 percen penduduk dewasa (umurnya +15) yang menyelesaikan Sekolah Dasar. Namun, jumlah ini masih dibawah segala Indonesia pada waktu itu yang berjumlah 65 percen (Jones 2003: 42-43). Pada tahun 1992, Universitas Timor Timur (UNTIM) didirikan. Mutu pendidikan ditawar oleh universitas tersebut sangat diragukan dan mahasiswa didaftarkan berjumlah hanya beberapa ratus. Karena ini, banyak orang Timor Leste berkuliah di daerah lain di Indonesia (Jones 2003: 46). Untuk melakukan pembangunan pendidikan yang cepat, Indonesia mendapatkan guru- guru dari ke luar Timor Leste. Bahkan ada kecenderungan seluruh kekuasaannya untuk menggaji orang yang berasal dari wilayah lain sebagai pegawai pemerintah dan sesaat sebelum referendum pada tahun 1999, hanya dua persen pengajar di tingkat SMP dan 16 SMA di Timor Leste adalah orang Timor Leste (Kompas 8/3/1999). Ada pengaduan oleh orang Timor Leste bahwa pengajar ini tidak memahami penduduk setempat, tidak berbicara bahasa lokal, dan kekurangan kehalusan perasaan budaya (Jones 2003:50). Guru-guru juga mengadukan bahwa murid-muridnya tidak bisa berkonsentrasi, sering terlambat, tidak memakai seragam, bersifat tidak tunduk atau berdisiplin, meninggalkan kelas dan hanya ingin berbicara tentang kemerdekaan Timor Timur (Beazley 1999:49). Akibatnya ketegangan ini, ada beberapa kasus di mana pengajar diancam oleh mahasiswa kalau tidak diberikan angka yang memuaskan dan kadang-kadang guru khawatir akan keselamatan jiwanya.

A. 2 Situasi Pendidikan Pada Saat Ini 
Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, diidentifikasikan oleh pemerintah baru Timor Leste sebagai salah satu prioritas untuk pembangunan, tetapi ada banyak masalah yang butuh diatasi. Sekarang ada 14 lembaga pendidikan tinggi di Timor Leste, tetapi dari jumlah ini, hanya Universitas Nasional Timor Lorosae adalah universitas umum, menerima 70 percen pembiayaan dari pemerintah Timor Leste. Oleh karena itu ada 13 lembaga yang menerima pembiayaan dari berbagai organisasi internasional seperti Bank ANZ, USAID dan kelompok perusahaan Cina di Hong Kong. Menurut penyelidikan pada tahun 2003, kebanyakan kondisi di lembaga swasta adalah mengawatirkan karena ada fasilitas minim dan material terbatas. Institut ini kekurangan laboritori-laboritori, perpustakaan yang lengkap, fasilitas-fasilitas kesenian dan olahraga, dan staf perguruan berkualitas (The La’o Hamutuk Bulletin March 2003). Karena di bawah kekuasaan Indonesia sebagian besar guru berasal dari wilayah lain daripada Timor Timur, waktu ada kekerasan pada tahun 1999, kebanyakan profesor- profesor pulang ke Indonesia dan tidak kembali ke Timor Leste. Ini meninggalkan kekurangan besar pengajar yang dilatih di negara baru Timor Leste. Kira-kira 50 percen professor yang sekarang ada di Timor Leste, hanya menyelesaikan Stratum Satu dan semua lain mempunyai diploma saja. Selain itu, banyak professor mengajar di beberapa institusi (termasuk seorang yang mempunyai lima tempat pekerjaan dalam satu waktu) 17 (The La’o Hamutuk Bulletin March 2003). Situasi ini bermaksud pengajar tidak bisa memberi cukup perhatian kepada mahasiswanya, menyiapkan pelajaran dan materi, mengoreksi tugas-tugas ataupun menghadiri kuliah. Juga, pemerintah belum menentukan syarat kirikulum atau mengumumkan secara resmi peraturan tentang bahasa dalam proses pendidikan. Sampai sekarang lembaga pendidikan mengambil sistem pendidikan dari Indonesia, Portugis dan negara-negara lain (The La’o Hamutuk Bulletin March 2003). 

A.3 Alasan Memilih Pendidikan di Indonesia 
Dari hasil wawancara saya, ada beberapa alasan untuk mahasiswa Timor Leste di Malang memilih belajar di Indonesia. Kebanyakan mereka berkata bahwa salah satu alasan untuk berkuliah di Indonesia, daripada Timor Leste adalah kekurangan sumber-sumber penghasilan di sana. Mereka merasa kirikulum, fasilitas dan kualitas pendidikan lebih baik di Indonesia daripada Timor Leste dan ada lebih banyak jurusan untuk dipilih (Roberto, Ana, Filipe, Jose)2. Selain itu, biaya kuliah lebih murah di Indonesia daripada Timor Leste atau negara lain dan mereka sudah tahu bahasa Indonesia (Thomas, Filipe, Jose). Ada beberapa responden yang berkuliah di Indonesia sebelum dan juga setelah Timor Leste merdeka. Joao memberi komentar bahwa sebelumnya kalau kuliah di TL sendiri, kurang begitu nyaman karena ada banyak persoalan-persoalan politik di sana dan lebih mengonsentrasikan pada politik. Tetapi waktu pindah ke Indonesia, dia dapat memfokuskan pada studinya saja. Juga ada mahasiswa Timor Leste yang merasa sangat berterimakasih kepada pemerintah Indonesia karena waktu kembali ke Indonesia untuk meneruskan studinya, biaya kuliah tetap sama dengan sebelumnya. Walaupun sebenarnya mereka orang asing (yang biasanya diminta harga yang lebih tinggi) mereka hanya harus membayar biaya sama dengan mahasiswa pribumi (Ana, Jose, Filipe). 2Ini adalah nama-nama mahasiswa Timor Leste yang diwawancarai. Beberapa nama ini sudah diganti kalau mahasiswa tidak ingin dinamakan. Perincian berada di daftar pustaka. 18

 B. Beasiswa 
Dulu ada kesempatan untuk mahasiswa Timor Leste belajar di Portugis dengan beasiswa dari pemerintah Portugis. Pemerintah Portugis menyediakan 314 beasiswa untuk mahasiswa Timor Leste tetapi berbagai fakta menyebabakan kesulitan timbul (The La’o Hamutuk Bulletin 2002). Mahasiswa Timor Leste jauh dari negaranya dan di dalam kebudayaan berbeda di sana. Juga mereka tidak dapat mengerti isi mata kuliah karena belum lancar dalam Bahasa Portugis dan kecepatan cara pengajaran agak cepat. Selain itu, mereka sering tinggal di akomidasi yang jauh dari mahasiswa lain maka tidak bisa menawar saling sokongan yang mempertinggi perasaan keterpencilan (The La’o Hamutuk Bulletin 2002). Oleh karena itu, dengan dorongan pemerintah Timor Leste, pemerintah Portugis menghentikan program beasiswa tersebut dan memusatkan perhatiannya pada membangun UNATIL (The La’o Hamutuk Bulletin 2002). Selain itu, pemerintah Portugis menjanjikan US$700,000 (Rp 7 milyar)untuk membiayai pelajaran seratus mahasiswa Timor Leste yang sudah selesai lima semester pengajaran di Indonesia, tetapi kekurangan uang untuk menyelesaikan studinya sesudah kemerdekaan. Beasiswa ini berlaku dari September 2002 sampai August 2005 dan termasuk biaya perjalanan pulang-pergi dan biaya kehidupan yang kira-kira US$60 (Rp 600,000) per bulan (The La’o Hamutuk Bulletin 2002). Juga ada beasiswa dari United Nations Development Program (UNDP) untuk mahasiswa Timor Leste yang berkuliah di Indonesia. Untuk tahun kuliah 2000/2001, pemerintah Jepang menyediakan US$658,000 (Rp 6,58 milyar) untuk dipakai melalui UNDP sebagai beasiswa (UNDP Newsfront 2001). Beasiswa ini membantu 600 mahasiswa Timor Leste melanjutkan studinya yang diganggu karena krisus setelah referendum di sana pada tahun 1999. Tujuan utama program ini adalah untuk menyediakan pendidikan dan latihan yang penting sekali untuk pembangunan sosial dan ekonomi Timor Leste. Juga hubungan antara Timor Leste dan Indonesia akan diperkuat. “Mahasiswa ini akan bermain peran yang penting oleh mempertemukan hubungan antara Timor Leste dan Indonesia pada 19 masa depan”, berkata Takao Kawakami, Duta Besa Jepang di Indonesia (UNDP Newsfront 2001). Pada saat ini, ada beasiswa lain dari UNDP untuk mahasiswa Timor Leste di Indonesia. Beasiswa ini terhitung awal semester bulan Maret 2004 untuk tahun 2003/2004, selama two semester, maka akan berakhir pada bulan Pebruari 2005. Beasiswa ini termasuk biaya pendidikan beserta biaya tunjangan hidup yang per bulan Rp 350,000 (Maret- Augustus 2004) dan Rp 400,000 (September 2004-Pebruari 2005). Juga biaya pembelian buku, alat tulis dan transportasi disediakan yang per bulan Rp 180,000 (Maret-Augustus 2004) dan 200,000 per bulan (September 2004-Pebruari 2005), beserta asuransi kesehatan melalui Asuransi Central Asia.3 UNDP mengirim laporan berkala kepada penerima beasiswanya setiap satu atau dua bulan. Ini mengisi informasi sekarang ini tentang organisasi TLSSJ (Timor Loro Sae Scholarship funded by the Japanese Government), surat dari penerima-penerima beasiswa dan kebijakan baru. Juga ada keterangan mengenai peristiwa baru saja dalam organisasi dan informasi penting untuk penerimanya, misalnya proses kepulangan mahasiswa ke Timor Leste dan proses mengajukan tuntutan kepada perusahaan asuransi.4 

B.1 Alasan Mencari Beasiswa 
Salah satu responden saya, yang bernama Filipe adalah penerima beasiswa UNDP selama dua semester dari Maret 2004 sampai Pebruari 2005. Dia berterimakasih kepada UNDP untuk pertolongan tetapi juga mempunyai beberapa perasaan negatif yang ingin diucapkan. Walaupun dia sudah masuk persyaratan begitu lama, proses adalah agak lama juga. Akibatnya, Filipe hanya diberitahu bahwa dia diberi beasiswa pada bulan September, sungguhpun beasiswa itu mulai pada bulan Maret dan dia lulus pada akhir October. Dia diberikan pembayaran dari semester satu pada bulan September dan akan diberikan sisa pada bulan Pebruari. 3Untuk Kontrak Perjanjian Penerima Beasiswa TLSSJ, lihat Lampiran B 4Lihat Lampiran C 20 Pengalaman ini memberikan Filipe sikap yang negitif terhadap UNDP. Menurut pendapat dia, UNDP Indonesia ingin mengeksploitasi uang yang diterima dari pemerintah Jepang oleh menyimpan uang itu di bank sampai bunga didapat. Filipe percaya persyaratan untuk memilih siapa yang akan menerima beasiswa adalah terlalu rumit supaya UNDP tidak harus memberikan semua uang yang diterima. Dia berpikir bahwa fakta bahwa dia tidak tidak diberitahu sampai enam bulan sesudah mulai beasiswanya adalah tidak dapat diterima dan mahasiswa Timor Leste adalah dieksploitasikan oleh korupsi di dalam organisasi tersebut. Juga Ana menerima uang dari pemerintah Timor Leste karena pemerintah memprioritaskan gelar kedokteran. Dia mendapat US$1000 per enam bulan untuk membayar kehidupan dan biaya kuliah di sini. Namun sering Ana tidak menerima uang ini sampai delapan atau sembilan bulan. Ini persoalan karena dia masih harus membeli buku-buku, kadang yang harganya Rp1,3 juta dan sering dia terpaksa pinjam dari temannya. Meskipun demikian, Ana sangat berterimakasih kepada pemerintah Timor Leste karena dia sadar uang tidak didapatkan oleh semua mahasiswa Timor Leste di Indonesia. Walaupun mahasiswa lain tidak menerima beasiswa, mereka juga menyadar bahwa pemerintah Timor Leste belum mempunyai proses atau kemampuan untuk menyediakan uang untuk semua mahasiswa yang belajar keluar Timor Leste. 

C. Analisis 
Selama kekuasaan Indonesia, pendidikan di Timor Leste bertambah baik tetapi angka kemelekan huruf tetap di bawah rata-rata Indonesia, ketegangan bertambah antara mahasiswa dan pengajar dan kekurangan fasilitas menyebabkan mahasiswa mencari pendidikan di luar propinsi Timor Leste. Akibatnya, waktu Timor Leste mencapai kemerdekaan, ada banyak persoalan dalam sistem pendidikan dan kekurangan pengajar yang berlatih. Sekarang juga ada isu terhadap pertumbuhan cepat universitas swasta di Timor Leste.  Waktu lembaga internasional menanam uang dalam sekolah di negara baru,ada risiko kualitas pendidikan tinggi tidak hanya tujuan lembaga itu.  Memang mereka juga mempedulikan menyebabkan nama institusinya menjadi terkenal supaya ada lebihpeluang untuk melakukan bisnis di Timor Leste.  Tetapi Portugis memberikan pertolongan kepada Universitas umum akan memperkuat hubungan bilateral antara Portugis dan Timor Leste karena dua pemerintahan tersebut akan bekerja bersama untuk membangun institusi yang dapat manfaat semua penduduk Timor Leste. Fakta-fakta mengenai situasi pendidikan dulu dan sekarang di Timor Leste dibuktikan oleh wawancari dengan mahasiswa Timor Leste yang belajar di Indonesia.  Mereka menegaskan bahwa susah untuk konsentrasi pada pendidikan sebelum kemerdekaan dan bahwa mereka datang ke Indonesia karena mereka percaya pendidikan yang lebih baik diterima di sini.  Kelihatan Indonesia mengerti kesulitan dihadapi Timor Leste pada hal pendidikan karena mereka pendidikan oleh hanya meminta harga sama dangan mahasiswa lokal. Ada perbedaan yang jelas antara informasi yang disediakan oleh UNDP tentang beasiswa dan kenyataan dari pengalaman mahasiswa Timor Leste.  Fakta bahwa Filipe tidak
diberitahu tentang beasiswanya sampai enam bulan sesudah mulainya kelihatan ada masalah dalam proses beasiswa ini.  Sampai bulan September Filipe sudah membayar biaya kuliahnya dan kehidupan dan walaupun pemberian pertolongan ini baik sekali, kehidupan Filipe memang lebih mudah kalau uang itu diberi pada bulan Maret, sebagai dilukiskan dalam syarat beasiswa UNDP.  Ada masalah sama dialami Ana yang menerima beasiswa dari Pemerintah Timor Leste