A. Situasi Pendidikan di Timor Leste
A.1 Situasi Pendidikan Sebelum Kemerdekaan
Penjajahan Portugis tidak berusaha keras untuk mendidik penduduk Timor Leste.
Sampai akhirnya 450 tahun kolonisasinya, pendidikan hanya didirikan untuk memenuhi
pembutuhan untuk penjabat administrasi (Jones 2003: 41). Angka kemelekan huruf
didugakan hanya sepuluh percen pada akhirnya kekuasaan Portugis (Saldanha 1994:60).
Kesediaan pendidikan dasar penduduk Timor Leste merupakan sumber kebanggaan
terbesar Indonesia karena banyak usaha dihabiskan di bidang itu. Jumlah sekolah di
Timor Leste meningkat sehingga pada tahun 1985, ada sekolah dasar di setiap desa.
Sensus Penduduk dari 1995 menyatakan perbaikan yang cepat terjadi dalam hal melek
huruf, pendaftaran sekolah dan hasil yang dicapai karena ada 33 percen penduduk dewasa
(umurnya +15) yang menyelesaikan Sekolah Dasar. Namun, jumlah ini masih dibawah
segala Indonesia pada waktu itu yang berjumlah 65 percen (Jones 2003: 42-43).
Pada tahun 1992, Universitas Timor Timur (UNTIM) didirikan. Mutu pendidikan
ditawar oleh universitas tersebut sangat diragukan dan mahasiswa didaftarkan berjumlah
hanya beberapa ratus. Karena ini, banyak orang Timor Leste berkuliah di daerah lain di
Indonesia (Jones 2003: 46).
Untuk melakukan pembangunan pendidikan yang cepat, Indonesia mendapatkan guru-
guru dari ke luar Timor Leste. Bahkan ada kecenderungan seluruh kekuasaannya untuk
menggaji orang yang berasal dari wilayah lain sebagai pegawai pemerintah dan sesaat
sebelum referendum pada tahun 1999, hanya dua persen pengajar di tingkat SMP dan
16
SMA di Timor Leste adalah orang Timor Leste (Kompas 8/3/1999). Ada pengaduan oleh
orang Timor Leste bahwa pengajar ini tidak memahami penduduk setempat, tidak
berbicara bahasa lokal, dan kekurangan kehalusan perasaan budaya (Jones 2003:50).
Guru-guru juga mengadukan bahwa murid-muridnya tidak bisa berkonsentrasi, sering
terlambat, tidak memakai seragam, bersifat tidak tunduk atau berdisiplin, meninggalkan
kelas dan hanya ingin berbicara tentang kemerdekaan Timor Timur (Beazley 1999:49).
Akibatnya ketegangan ini, ada beberapa kasus di mana pengajar diancam oleh mahasiswa
kalau tidak diberikan angka yang memuaskan dan kadang-kadang guru khawatir akan
keselamatan jiwanya.
A. 2 Situasi Pendidikan Pada Saat Ini
Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, diidentifikasikan oleh pemerintah baru Timor
Leste sebagai salah satu prioritas untuk pembangunan, tetapi ada banyak masalah yang
butuh diatasi. Sekarang ada 14 lembaga pendidikan tinggi di Timor Leste, tetapi dari
jumlah ini, hanya Universitas Nasional Timor Lorosae adalah universitas umum,
menerima 70 percen pembiayaan dari pemerintah Timor Leste. Oleh karena itu ada 13
lembaga yang menerima pembiayaan dari berbagai organisasi internasional seperti Bank
ANZ, USAID dan kelompok perusahaan Cina di Hong Kong. Menurut penyelidikan
pada tahun 2003, kebanyakan kondisi di lembaga swasta adalah mengawatirkan karena
ada fasilitas minim dan material terbatas. Institut ini kekurangan laboritori-laboritori,
perpustakaan yang lengkap, fasilitas-fasilitas kesenian dan olahraga, dan staf perguruan
berkualitas (The La’o Hamutuk Bulletin March 2003).
Karena di bawah kekuasaan Indonesia sebagian besar guru berasal dari wilayah lain
daripada Timor Timur, waktu ada kekerasan pada tahun 1999, kebanyakan profesor-
profesor pulang ke Indonesia dan tidak kembali ke Timor Leste. Ini meninggalkan
kekurangan besar pengajar yang dilatih di negara baru Timor Leste. Kira-kira 50 percen
professor yang sekarang ada di Timor Leste, hanya menyelesaikan Stratum Satu dan
semua lain mempunyai diploma saja. Selain itu, banyak professor mengajar di beberapa
institusi (termasuk seorang yang mempunyai lima tempat pekerjaan dalam satu waktu)
17
(The La’o Hamutuk Bulletin March 2003). Situasi ini bermaksud pengajar tidak bisa
memberi cukup perhatian kepada mahasiswanya, menyiapkan pelajaran dan materi,
mengoreksi tugas-tugas ataupun menghadiri kuliah. Juga, pemerintah belum menentukan
syarat kirikulum atau mengumumkan secara resmi peraturan tentang bahasa dalam proses
pendidikan. Sampai sekarang lembaga pendidikan mengambil sistem pendidikan dari
Indonesia, Portugis dan negara-negara lain (The La’o Hamutuk Bulletin March 2003).
A.3 Alasan Memilih Pendidikan di Indonesia
Dari hasil wawancara saya, ada beberapa alasan untuk mahasiswa Timor Leste di Malang
memilih belajar di Indonesia. Kebanyakan mereka berkata bahwa salah satu alasan untuk
berkuliah di Indonesia, daripada Timor Leste adalah kekurangan sumber-sumber
penghasilan di sana. Mereka merasa kirikulum, fasilitas dan kualitas pendidikan lebih
baik di Indonesia daripada Timor Leste dan ada lebih banyak jurusan untuk dipilih
(Roberto, Ana, Filipe, Jose)2. Selain itu, biaya kuliah lebih murah di Indonesia daripada
Timor Leste atau negara lain dan mereka sudah tahu bahasa Indonesia (Thomas, Filipe,
Jose).
Ada beberapa responden yang berkuliah di Indonesia sebelum dan juga setelah Timor
Leste merdeka. Joao memberi komentar bahwa sebelumnya kalau kuliah di TL sendiri,
kurang begitu nyaman karena ada banyak persoalan-persoalan politik di sana dan lebih
mengonsentrasikan pada politik. Tetapi waktu pindah ke Indonesia, dia dapat
memfokuskan pada studinya saja. Juga ada mahasiswa Timor Leste yang merasa sangat
berterimakasih kepada pemerintah Indonesia karena waktu kembali ke Indonesia untuk
meneruskan studinya, biaya kuliah tetap sama dengan sebelumnya. Walaupun
sebenarnya mereka orang asing (yang biasanya diminta harga yang lebih tinggi) mereka
hanya harus membayar biaya sama dengan mahasiswa pribumi (Ana, Jose, Filipe).
2Ini adalah nama-nama mahasiswa Timor Leste yang diwawancarai. Beberapa nama ini sudah diganti
kalau mahasiswa tidak ingin dinamakan. Perincian berada di daftar pustaka.
18
B. Beasiswa
Dulu ada kesempatan untuk mahasiswa Timor Leste belajar di Portugis dengan beasiswa
dari pemerintah Portugis. Pemerintah Portugis menyediakan 314 beasiswa untuk
mahasiswa Timor Leste tetapi berbagai fakta menyebabakan kesulitan timbul (The La’o
Hamutuk Bulletin 2002). Mahasiswa Timor Leste jauh dari negaranya dan di dalam
kebudayaan berbeda di sana. Juga mereka tidak dapat mengerti isi mata kuliah karena
belum lancar dalam Bahasa Portugis dan kecepatan cara pengajaran agak cepat. Selain
itu, mereka sering tinggal di akomidasi yang jauh dari mahasiswa lain maka tidak bisa
menawar saling sokongan yang mempertinggi perasaan keterpencilan (The La’o Hamutuk
Bulletin 2002). Oleh karena itu, dengan dorongan pemerintah Timor Leste, pemerintah
Portugis menghentikan program beasiswa tersebut dan memusatkan perhatiannya pada
membangun UNATIL (The La’o Hamutuk Bulletin 2002).
Selain itu, pemerintah Portugis menjanjikan US$700,000 (Rp 7 milyar)untuk membiayai
pelajaran seratus mahasiswa Timor Leste yang sudah selesai lima semester pengajaran di
Indonesia, tetapi kekurangan uang untuk menyelesaikan studinya sesudah kemerdekaan.
Beasiswa ini berlaku dari September 2002 sampai August 2005 dan termasuk biaya
perjalanan pulang-pergi dan biaya kehidupan yang kira-kira US$60 (Rp 600,000) per
bulan (The La’o Hamutuk Bulletin 2002).
Juga ada beasiswa dari United Nations Development Program (UNDP) untuk mahasiswa
Timor Leste yang berkuliah di Indonesia. Untuk tahun kuliah 2000/2001, pemerintah
Jepang menyediakan US$658,000 (Rp 6,58 milyar) untuk dipakai melalui UNDP sebagai
beasiswa (UNDP Newsfront 2001). Beasiswa ini membantu 600 mahasiswa Timor Leste
melanjutkan studinya yang diganggu karena krisus setelah referendum di sana pada tahun
1999. Tujuan utama program ini adalah untuk menyediakan pendidikan dan latihan yang
penting sekali untuk pembangunan sosial dan ekonomi Timor Leste. Juga hubungan
antara Timor Leste dan Indonesia akan diperkuat. “Mahasiswa ini akan bermain peran
yang penting oleh mempertemukan hubungan antara Timor Leste dan Indonesia pada
19
masa depan”, berkata Takao Kawakami, Duta Besa Jepang di Indonesia (UNDP
Newsfront 2001).
Pada saat ini, ada beasiswa lain dari UNDP untuk mahasiswa Timor Leste di Indonesia.
Beasiswa ini terhitung awal semester bulan Maret 2004 untuk tahun 2003/2004, selama
two semester, maka akan berakhir pada bulan Pebruari 2005. Beasiswa ini termasuk
biaya pendidikan beserta biaya tunjangan hidup yang per bulan Rp 350,000 (Maret-
Augustus 2004) dan Rp 400,000 (September 2004-Pebruari 2005). Juga biaya pembelian
buku, alat tulis dan transportasi disediakan yang per bulan Rp 180,000 (Maret-Augustus
2004) dan 200,000 per bulan (September 2004-Pebruari 2005), beserta asuransi kesehatan
melalui Asuransi Central Asia.3
UNDP mengirim laporan berkala kepada penerima beasiswanya setiap satu atau dua
bulan. Ini mengisi informasi sekarang ini tentang organisasi TLSSJ (Timor Loro Sae
Scholarship funded by the Japanese Government), surat dari penerima-penerima beasiswa
dan kebijakan baru. Juga ada keterangan mengenai peristiwa baru saja dalam organisasi
dan informasi penting untuk penerimanya, misalnya proses kepulangan mahasiswa ke
Timor Leste dan proses mengajukan tuntutan kepada perusahaan asuransi.4
B.1 Alasan Mencari Beasiswa
Salah satu responden saya, yang bernama Filipe adalah penerima beasiswa UNDP selama
dua semester dari Maret 2004 sampai Pebruari 2005. Dia berterimakasih kepada UNDP
untuk pertolongan tetapi juga mempunyai beberapa perasaan negatif yang ingin
diucapkan. Walaupun dia sudah masuk persyaratan begitu lama, proses adalah agak lama
juga. Akibatnya, Filipe hanya diberitahu bahwa dia diberi beasiswa pada bulan
September, sungguhpun beasiswa itu mulai pada bulan Maret dan dia lulus pada akhir
October. Dia diberikan pembayaran dari semester satu pada bulan September dan akan
diberikan sisa pada bulan Pebruari.
3Untuk Kontrak Perjanjian Penerima Beasiswa TLSSJ, lihat Lampiran B
4Lihat Lampiran C
20
Pengalaman ini memberikan Filipe sikap yang negitif terhadap UNDP.
Menurut
pendapat dia, UNDP Indonesia ingin mengeksploitasi uang yang diterima dari
pemerintah Jepang oleh menyimpan uang itu di bank sampai bunga didapat. Filipe
percaya persyaratan untuk memilih siapa yang akan menerima beasiswa adalah terlalu
rumit supaya UNDP tidak harus memberikan semua uang yang diterima. Dia berpikir
bahwa fakta bahwa dia tidak tidak diberitahu sampai enam bulan sesudah mulai
beasiswanya adalah tidak dapat diterima dan mahasiswa Timor Leste adalah
dieksploitasikan oleh korupsi di dalam organisasi tersebut.
Juga Ana menerima uang dari pemerintah Timor Leste karena pemerintah
memprioritaskan gelar kedokteran. Dia mendapat US$1000 per enam bulan untuk
membayar kehidupan dan biaya kuliah di sini. Namun sering Ana tidak menerima uang
ini sampai delapan atau sembilan bulan. Ini persoalan karena dia masih harus membeli
buku-buku, kadang yang harganya Rp1,3 juta dan sering dia terpaksa pinjam dari
temannya. Meskipun demikian, Ana sangat berterimakasih kepada pemerintah Timor
Leste karena dia sadar uang tidak didapatkan oleh semua mahasiswa Timor Leste di
Indonesia.
Walaupun mahasiswa lain tidak menerima beasiswa, mereka juga menyadar bahwa
pemerintah Timor Leste belum mempunyai proses atau kemampuan untuk menyediakan
uang untuk semua mahasiswa yang belajar keluar Timor Leste.
C. Analisis
Selama kekuasaan Indonesia, pendidikan di Timor Leste bertambah baik tetapi angka
kemelekan huruf tetap di bawah rata-rata Indonesia, ketegangan bertambah antara
mahasiswa dan pengajar dan kekurangan fasilitas menyebabkan mahasiswa mencari
pendidikan di luar propinsi Timor Leste. Akibatnya, waktu Timor Leste mencapai
kemerdekaan, ada banyak persoalan dalam sistem pendidikan dan kekurangan pengajar
yang berlatih. Sekarang juga ada isu terhadap pertumbuhan cepat universitas swasta di Timor Leste. Waktu lembaga internasional menanam uang dalam sekolah di negara baru,ada risiko kualitas pendidikan tinggi tidak hanya tujuan lembaga itu. Memang mereka juga mempedulikan menyebabkan nama institusinya menjadi terkenal supaya ada lebihpeluang untuk melakukan bisnis di Timor Leste. Tetapi Portugis memberikan pertolongan kepada Universitas umum akan memperkuat hubungan bilateral antara Portugis dan Timor Leste karena dua pemerintahan tersebut akan bekerja bersama untuk membangun institusi yang dapat manfaat semua penduduk Timor Leste. Fakta-fakta mengenai situasi pendidikan dulu dan sekarang di Timor Leste dibuktikan oleh wawancari dengan mahasiswa Timor Leste yang belajar di Indonesia. Mereka menegaskan bahwa susah untuk konsentrasi pada pendidikan sebelum kemerdekaan dan bahwa mereka datang ke Indonesia karena mereka percaya pendidikan yang lebih baik diterima di sini. Kelihatan Indonesia mengerti kesulitan dihadapi Timor Leste pada hal pendidikan karena mereka pendidikan oleh hanya meminta harga sama dangan mahasiswa lokal. Ada perbedaan yang jelas antara informasi yang disediakan oleh UNDP tentang beasiswa dan kenyataan dari pengalaman mahasiswa Timor Leste. Fakta bahwa Filipe tidak
diberitahu tentang beasiswanya sampai enam bulan sesudah mulainya kelihatan ada masalah dalam proses beasiswa ini. Sampai bulan September Filipe sudah membayar biaya kuliahnya dan kehidupan dan walaupun pemberian pertolongan ini baik sekali, kehidupan Filipe memang lebih mudah kalau uang itu diberi pada bulan Maret, sebagai dilukiskan dalam syarat beasiswa UNDP. Ada masalah sama dialami Ana yang menerima beasiswa dari Pemerintah Timor Leste
diberitahu tentang beasiswanya sampai enam bulan sesudah mulainya kelihatan ada masalah dalam proses beasiswa ini. Sampai bulan September Filipe sudah membayar biaya kuliahnya dan kehidupan dan walaupun pemberian pertolongan ini baik sekali, kehidupan Filipe memang lebih mudah kalau uang itu diberi pada bulan Maret, sebagai dilukiskan dalam syarat beasiswa UNDP. Ada masalah sama dialami Ana yang menerima beasiswa dari Pemerintah Timor Leste